Nama: Ayu Setiowati
kelas: 3SA03
NPM: 11613554
Artikel Budaya Virtual dan Autisme
Oleh: Emanuel Prasetyono
Budaya Virtual
Seorang teman bercerita bahwa dia merasa tenang meninggalkan anaknya di
rumah karena ada cukup banyak CD play station (PS) yang bisa
dipakai sebagai mainannya selama orang tuanya di luar rumah. Si anak kebetulan
tinggal bersama neneknya. Teman ini memang cukup lama membiasakan anaknya bermain
sendirian dengan play station dengan alasan bahwa anaknya
lebih tenang dan tidak nakal kalau ada mainan PS. PS dalam jangka waktu cukup
lama menjamur di negeri ini. Permainan semacam PS pun berkembang dalam berbagai
bentuk dan media. Bahkan online game juga makin banyak dan
mudah dilakukan antara orang-orang yang berjauhan tempatnya tetapi terhubung
oleh jaringan internet online games, PS, jejaring sosial (semisal FB dan
twitter) menandai sebuah jaman yang didominasi oleh kultur virtual, dunia maya.
Di jaman sekarang ini, generasi muda dibanjiri oleh budaya baru yang disebut
dengan budaya virtual. Budaya virtual ditandai oleh kecanggihan teknologi
virtual dalam bentuk internet dan media-media komunikasi (semisal telepon
seluler). Budaya virtual diakui sangat membantu efektivitas dan efisiensi kerja
serta komunikasi jarak jauh karena dunia virtual mengatasi keterbatasan ruang
dan waktu. Budaya virtual menjadikan dunia seakan hanya satu desa kecil (mondial
village) di mana tiap-tiap elemen terhubung satu sama lain sebagai jaringan
(networking). Budaya virtual berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
gambaran simbolis dan konseptual, juga memainkan daya imajinatif dan kemampuan
membuat bentuk-bentuk simbolik-matematis manusia. Oleh karena itu budaya virtual
disebut juga dengan budaya maya, yang berarti dibedakan dengan dunia nyata yang
bersifat riil, konkret, dan inderawi (berkaitan dengan indera-indera manusia).
Ancaman Budaya Virtual: Kecenderungan Autis
Problem datang ketika budaya virtual “meninggalkan” budaya riil yang
bersifat konkret dan inderawi, seakan-akan dunia virtual adalah dunia yang
lebih riil dari pada dunia keseharian yang konkret-inderawi. Hal tersebut
didukung oleh produk-produk teknologi komunikasi virtual yang menghegemoni
kehidupan manusia di abad ini. Seorang anak SD, misalnya, sudah diberi tugas
oleh gurunya dengan metode yang menggunakan fasilitas internet. Para orang tua
akhirnya harus “merelakan” anaknya berkenalan dengan dunia virtual sejak masih
usia dini. Padahal dunia virtual adalah dunia yang lepas-bebas dan riskan oleh
intrusi-intrusi ke dalam pola pikir individu tanpa mempedulikan seleksi nilai
dan moral yang baik. Contoh intruksi destruktif yang secara moral-etis buruk ke
dalam pola pikir individu lewat media virtual adalah pornografi dan kekerasan
yang dengan mudah bisa diakses. Inilah hegemoni budaya virtual atas martabat
hidup sehari-hari. Hegemoni ini tentu tidak berdiri sendiri. Dia
berkait-mengait dengan kapitalisme, mentalitas hedonis dan konsumtif, serta
lemahnya sikap kritis dan cerdas.
Kaum muda yang notabene adalah generasi yang baru bertumbuh dewasa dan
masih harus mencari orientasi hidup, tidak jarang menjadi “korban pertama”
dampak negatif yang tak terelakan dari budaya virtual. Mentalitas konsumeris –
hedonis yang umum berkembang dalam masyarakat mendorong sikap kontra produktif
dalam penggunaan teknologi alat-alat komunikasi. Contoh paling nampak adalah
gejala sikap umum di kalangan remaja dalam menggunakan telepon seluler,
mengakses informasi-informasi di internet, penggunaan jejaring sosial, dan
penggunaan media-media komunikasi-virtual secara berlebihan.
Akibat yang bisa dihasilkan oleh ketergantungan terhadap media produk
teknologi komunikasi virtual ini seharusnya cukup mengagetkan kita semua.
Banyak orang cenderung bersikap a-sosial, kurang berkomunikasi dan berkontak
langsung dengan orang lain, lemah dalam berkomunikasi verbal (gagap,
kosakatanya menjadi “miskin”, cenderung membuat pilihan penggunaan kata yang
bernuansa violence atau abusive dalam ungkapan sehari-hari),
enggan bersosialisasi dan memilih sibuk berjam-jam dengan “permainan” telepon
seluler atau mengakses berbagai informasi dari internet, atau sekedar
mencoba-coba surfing program-program tertentu.
Menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari di depan komputer sungguh akan
berdampak pada miskinnya kemampuan imajinatif dan ekspresif seseorang. Bila
kebiasaan seperti itu terjadi bertahun-tahun, tanpa disadari seseorang bisa
kehilangan kepekaan akan kehadiran orang lain di sekitarnya dan kehadiran dirinya
sendiri di tengah-tengah lingkungannya. Dengan kata lain, mentalitas
individualis dan isolatif dibangun oleh kebiasaan beraktivitas dalam jangka
waktu lama yang minim relasi dengan orang lain, minim komunikasi verbal-aktif
dengan sesama, singkat kata minim relasi-sosialisasi-komunikatif-dialogal.
Ketergantungan hidup pada media komunikasi virtual yang cenderung membuat orang
menjadi isolative, lonely, singkatnya akan menghasilkan generasi
autis.
Pertanyaan kritisnya, bagaimana kita bisa membangun negeri ini bila
generasi mudanya menjadi demikian autis, tidak terampil berelasi dan
berkomunikasi dengan baik dan elegan, serta tidak mampu berdiplomasi dengan
cerdas? Padahal kemampuan berelasi dan berkomunikasi serta keterampilan
berdiplomasi secara cerdas adalah soft skill yang dituntut
pada generasi muda oleh jaman yang semakin global dan kompetitif. Tanpa
mengabaikan unsur-unsur manfaat yang luar biasa yang bisa digali dari
kecanggihan produk-produk teknologi komunikasi bagi kehidupan manusia, budaya
virtual amat berpotensi berkembang menjadi penyakit sosial dan kepribadian di
kemudian hari bila tidak terantisipasi oleh berbagai bentuk pendidikan yang
berorientasi pada pengembangan kepribadian dan karakter.
Tantangan bagi Para Pendamping dan Pemerhati Kaum Muda
Adanya keprihatinan terhadap perkembangan generasi muda berhadapan dengan
hantaman produk-produk yang memanfaatkan dan bahkan menumbuhkan mentalitas
konsumeris-hedonis adalah tugas dan kewajiban para guru, para pendidik, para
pendamping dan aktivitas kaum muda untuk tidak mengartikecilkan dampak
teknologi komunikasi modern bagi ketergantungan generasi muda terhadap
teknologi komunikasi; dampaknya terhadap perilaku, kepribadian, dan karakter
generasi muda. Para pemerhati, pendamping, guru, dan aktivis kaum muda perlu
bahu-membahu untuk membuat program-program yang sedemikian rupa menyajikan
aktivitas-aktivitas yang mendorong mereka untuk bersosialisasi, mengenal satu
sama lain, menjadi peka terhadap teman dan sesama, mengembangkan
kemampuan soft skill. Budaya virtual yang menghasilkan
ketergantungan seseorang pada teknologi media komunikasi yang melemahkan daya
produktivitas, kreativitas, dan imajinasi individu, harus “dilawan” dengan berbagai
bentuk pelatihan dan pendampingan yang meningkatkan pengetahuan (dimensi
kognitif), keterampilan (dimensi motorik), dan pengembangan karakter dan
kepribadian (dimensi afektif-volitif). Dibutuhkan jaringan yang sinergis untuk
menghasilkan pendampingan-pendampingan dan pembinaan kaum muda yang bersifat
integral. Untuk itu, dibutuhkan pula kerja sama dan kemauan baik dari para
pendamping kaum muda, para pendidik, para guru, dan para aktivis pemerhati kaum
muda untuk bekerja sama bahu-membahu menghasilkan modul-modul pelatihan dan
pendampingan yang bermutu serta berorientasi pada pembentukan karakter yang
teguh dan integral, yang berwawasan sekaligus terampil.
Analisis
Perkembangan masyarakat khususnya
generasi muda dengan adanya budaya virtual ini banyak mempengaruhi kegiatan
sehari-harinya. Banyak yang sangat dekat di dunia maya tetapi tidak pada dunia
nyata, karena seperti yang sudah dibahas diatas mereka kurang baik dalam
berkomunikasi, bersosialisasi, bertemu dan bercakap-cakap. Mereka lebih sering
bertemu di dunia maya, seperti mempunyai kepribadian yang berbeda. Disisi lain,
budaya virtual juga membantu seseorang yang pemalu menjadi bisa mengungkapkan
ide atau gagasannya via dunia maya dibanding dunia nyata. Kegiatan ini amat
sangat membantu untuk mereka yang pemalu agar lebih berani bersosialisasi juga
dengan sesama.
Adanya
budaya virtual saat ini, mendorong memudahkan segala kegiatan seseorang. Semua cara
bisa ditemukan lewat dunia maya karena sudah menjadi budaya pada saat ini. Mengakibatkan
kurangnya usaha keras seseorang pada saat ini, dan selain itu berkurangnya
tingkat kepedulian antar sesama pada beberapa orang karena budaya virtual sudah
hidup dalam jiwa beberapa orang. Sebagai generasi muda penerus bangsa yang
baik, budaya virtual harus dihadapi dengan kritis dan juga selektif.
0 komentar:
Posting Komentar