Sabtu, 23 Januari 2016

Artikel Budaya Virtual dan Autisme

Diposting oleh Unknown di 22.58
Nama: Ayu Setiowati
kelas: 3SA03
NPM: 11613554

Oleh: Emanuel Prasetyono

Budaya Virtual

Seorang teman bercerita bahwa dia merasa tenang meninggalkan anaknya di rumah karena ada cukup banyak CD play station (PS) yang bisa dipakai sebagai mainannya selama orang tuanya di luar rumah. Si anak kebetulan tinggal bersama neneknya. Teman ini memang cukup lama membiasakan anaknya bermain sendirian dengan play station dengan alasan bahwa anaknya lebih tenang dan tidak nakal kalau ada mainan PS. PS dalam jangka waktu cukup lama menjamur di negeri ini. Permainan semacam PS pun berkembang dalam berbagai bentuk dan media. Bahkan online game juga makin banyak dan mudah dilakukan antara orang-orang yang berjauhan tempatnya tetapi terhubung oleh jaringan internet online games, PS, jejaring sosial (semisal FB dan twitter) menandai sebuah jaman yang didominasi oleh kultur virtual, dunia maya. Di jaman sekarang ini, generasi muda dibanjiri oleh budaya baru yang disebut dengan budaya virtual. Budaya virtual ditandai oleh kecanggihan teknologi virtual dalam bentuk internet dan media-media komunikasi (semisal telepon seluler). Budaya virtual diakui sangat membantu efektivitas dan efisiensi kerja serta komunikasi jarak jauh karena dunia virtual mengatasi keterbatasan ruang dan waktu. Budaya virtual menjadikan dunia seakan hanya satu desa kecil (mondial village) di mana tiap-tiap elemen terhubung satu sama lain sebagai jaringan (networking). Budaya virtual berkaitan dengan hal-hal yang bersifat gambaran simbolis dan konseptual, juga memainkan daya imajinatif dan kemampuan membuat bentuk-bentuk simbolik-matematis manusia. Oleh karena itu budaya virtual disebut juga dengan budaya maya, yang berarti dibedakan dengan dunia nyata yang bersifat riil, konkret, dan inderawi (berkaitan dengan indera-indera manusia).

Ancaman Budaya Virtual: Kecenderungan Autis

Problem datang ketika budaya virtual “meninggalkan” budaya riil yang bersifat konkret dan inderawi, seakan-akan dunia virtual adalah dunia yang lebih riil dari pada dunia keseharian yang konkret-inderawi. Hal tersebut didukung oleh produk-produk teknologi komunikasi virtual yang menghegemoni kehidupan manusia di abad ini. Seorang anak SD, misalnya, sudah diberi tugas oleh gurunya dengan metode yang menggunakan fasilitas internet. Para orang tua akhirnya harus “merelakan” anaknya berkenalan dengan dunia virtual sejak masih usia dini. Padahal dunia virtual adalah dunia yang lepas-bebas dan riskan oleh intrusi-intrusi ke dalam pola pikir individu tanpa mempedulikan seleksi nilai dan moral yang baik. Contoh intruksi destruktif yang secara moral-etis buruk ke dalam pola pikir individu lewat media virtual adalah pornografi dan kekerasan yang dengan mudah bisa diakses. Inilah hegemoni budaya virtual atas martabat hidup sehari-hari. Hegemoni ini tentu tidak berdiri sendiri. Dia berkait-mengait dengan kapitalisme, mentalitas hedonis dan konsumtif, serta lemahnya sikap kritis dan cerdas.
Kaum muda yang notabene adalah generasi yang baru bertumbuh dewasa dan masih harus mencari orientasi hidup, tidak jarang menjadi “korban pertama” dampak negatif yang tak terelakan dari budaya virtual. Mentalitas konsumeris – hedonis yang umum berkembang dalam masyarakat mendorong sikap kontra produktif dalam penggunaan teknologi alat-alat komunikasi. Contoh paling nampak adalah gejala sikap umum di kalangan remaja dalam menggunakan telepon seluler, mengakses informasi-informasi di internet, penggunaan jejaring sosial, dan penggunaan media-media komunikasi-virtual secara berlebihan.
Akibat yang bisa dihasilkan oleh ketergantungan terhadap media produk teknologi komunikasi virtual ini seharusnya cukup mengagetkan kita semua. Banyak orang cenderung bersikap a-sosial, kurang berkomunikasi dan berkontak langsung dengan orang lain, lemah dalam berkomunikasi verbal (gagap, kosakatanya menjadi “miskin”, cenderung membuat pilihan penggunaan kata yang bernuansa violence atau abusive dalam ungkapan sehari-hari), enggan bersosialisasi dan memilih sibuk berjam-jam dengan “permainan” telepon seluler atau mengakses berbagai informasi dari internet, atau sekedar mencoba-coba surfing program-program tertentu.  Menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari di depan komputer sungguh akan berdampak pada miskinnya kemampuan imajinatif dan ekspresif seseorang. Bila kebiasaan seperti itu terjadi bertahun-tahun, tanpa disadari seseorang bisa kehilangan kepekaan akan kehadiran orang lain di sekitarnya dan kehadiran dirinya sendiri di tengah-tengah lingkungannya. Dengan kata lain, mentalitas individualis dan isolatif dibangun oleh kebiasaan beraktivitas dalam jangka waktu lama yang minim relasi dengan orang lain, minim komunikasi verbal-aktif dengan sesama, singkat kata minim relasi-sosialisasi-komunikatif-dialogal. Ketergantungan hidup pada media komunikasi virtual yang cenderung membuat orang menjadi isolative, lonely, singkatnya akan menghasilkan generasi autis.
Pertanyaan kritisnya, bagaimana kita bisa membangun negeri ini bila generasi mudanya menjadi demikian autis, tidak terampil berelasi dan berkomunikasi dengan baik dan elegan, serta tidak mampu berdiplomasi dengan cerdas? Padahal kemampuan berelasi dan berkomunikasi serta keterampilan berdiplomasi secara cerdas adalah soft skill yang dituntut pada generasi muda oleh jaman yang semakin global dan kompetitif. Tanpa mengabaikan unsur-unsur manfaat yang luar biasa yang bisa digali dari kecanggihan produk-produk teknologi komunikasi bagi kehidupan manusia, budaya virtual amat berpotensi berkembang menjadi penyakit sosial dan kepribadian di kemudian hari bila tidak terantisipasi oleh berbagai bentuk pendidikan yang berorientasi pada pengembangan kepribadian dan karakter.

Tantangan bagi Para Pendamping dan Pemerhati Kaum Muda

Adanya keprihatinan terhadap perkembangan generasi muda berhadapan dengan hantaman produk-produk yang memanfaatkan dan bahkan menumbuhkan mentalitas konsumeris-hedonis adalah tugas dan kewajiban para guru, para pendidik, para pendamping dan aktivitas kaum muda untuk tidak mengartikecilkan dampak teknologi komunikasi modern bagi ketergantungan generasi muda terhadap teknologi komunikasi; dampaknya terhadap perilaku, kepribadian, dan karakter generasi muda. Para pemerhati, pendamping, guru, dan aktivis kaum muda perlu bahu-membahu untuk membuat program-program yang sedemikian rupa menyajikan aktivitas-aktivitas yang mendorong mereka untuk bersosialisasi, mengenal satu sama lain, menjadi peka terhadap teman dan sesama, mengembangkan kemampuan soft skill. Budaya virtual yang menghasilkan ketergantungan seseorang pada teknologi media komunikasi yang melemahkan daya produktivitas, kreativitas, dan imajinasi individu, harus “dilawan” dengan berbagai bentuk pelatihan dan pendampingan yang meningkatkan pengetahuan (dimensi kognitif), keterampilan (dimensi motorik), dan pengembangan karakter dan kepribadian (dimensi afektif-volitif). Dibutuhkan jaringan yang sinergis untuk menghasilkan pendampingan-pendampingan dan pembinaan kaum muda yang bersifat integral. Untuk itu, dibutuhkan pula kerja sama dan kemauan baik dari para pendamping kaum muda, para pendidik, para guru, dan para aktivis pemerhati kaum muda untuk bekerja sama bahu-membahu menghasilkan modul-modul pelatihan dan pendampingan yang bermutu serta berorientasi pada pembentukan karakter yang teguh dan integral, yang berwawasan sekaligus terampil.



Analisis

            Perkembangan masyarakat khususnya generasi muda dengan adanya budaya virtual ini banyak mempengaruhi kegiatan sehari-harinya. Banyak yang sangat dekat di dunia maya tetapi tidak pada dunia nyata, karena seperti yang sudah dibahas diatas mereka kurang baik dalam berkomunikasi, bersosialisasi, bertemu dan bercakap-cakap. Mereka lebih sering bertemu di dunia maya, seperti mempunyai kepribadian yang berbeda. Disisi lain, budaya virtual juga membantu seseorang yang pemalu menjadi bisa mengungkapkan ide atau gagasannya via dunia maya dibanding dunia nyata. Kegiatan ini amat sangat membantu untuk mereka yang pemalu agar lebih berani bersosialisasi juga dengan sesama.
Adanya budaya virtual saat ini, mendorong memudahkan segala kegiatan seseorang. Semua cara bisa ditemukan lewat dunia maya karena sudah menjadi budaya pada saat ini. Mengakibatkan kurangnya usaha keras seseorang pada saat ini, dan selain itu berkurangnya tingkat kepedulian antar sesama pada beberapa orang karena budaya virtual sudah hidup dalam jiwa beberapa orang. Sebagai generasi muda penerus bangsa yang baik, budaya virtual harus dihadapi dengan kritis dan juga selektif.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ayu Setiowati Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea